Entah apa pun kondisi hidup kita, kita ini membutuhkan sahabat. Manakala kita sedang sedih, sahabat-sahabat kita datang menghibur. Mereka
ikut bersedih hati dengan kita, ikut bergembira bersama kita, dan membuat
hari-hari kita menjadi lebih ceria. Bersama para sahabat, kita tidak lagi
menderita sendiri. Meski kita membutuhkan sahabat di kala sedih, kita pun juga
membutuhkan sahabat di kala kita bergembira. Apa pun nasib keberuntungan yang
kita alami, tetapi jika tidak ada sahabat yang bisa menjadi mitra untuk berbagi
keberuntungan itu, maka kegembiraan yang kita alami sungguh menjadi kurang
dapat dirasakan.
Menjadi sahabat
Menurut Thomas Aquinas[1], kita tidak
bisa menjadi sahabat satu sama lain, kalau di antara kita tidak ada kesetaraan
(equality) dan kesalingan (mutuality) yang benar. Bisa saja kita
menginginkan orang lain menjadi baik, tetapi bukan demi diri kita sendiri
tetapi demi orang lain yang kita cintai itu. Ketika hubungan satu sama lain
tidak ada kesalingan dalam memberikan kebaikan satu sama lain, maka keinginan
baik itu tidak bisa bertumbuh menjadi persahabatan. Menjadi sahabat yang sejati
berarti menjadi sadar akan harga diri dan cinta orang lain dan
mengkomunikasikan afeksi kita satu sama lain. Bisa saja kita merasa saling mencintai
satu sama lain, tetapi jika kita hanya bicara tentang cinta dan tidak ada
tindakan nyata, maka kita sama-sama hanya menjadi orang-orang yang
berpengharapan baik (well-wishers), dan bukan menjadi sahabat-sahabat (friends).
Kita semua menginginkan persahabatan, dan ingin mengungkapkan cinta kita
itu satu sama lain, dalam kata dan dalam tindakan. Kita menjadi sahabat dengan
orang lain bukan hanya karena kita merasa mencintai mereka secara batiniah,
tetapi juga karena kita mengakui dan mengungkapkan cinta itu kepada mereka.
Dengan kata lain, persahabatan adalah suatu habitus yang membuat kita
ingin menunjukkan cinta kita, bahkan jika kerapkali kita tidak dapat mengungkapkan
cinta yang kita inginkan itu. Thomas Aquinas menekankan bahwa kita bisa menjadi
sahabat tidak semata-mata karena maksud baik kita tetapi juga karena
pemberian diri kita melalui kata dan tindakan kita.
Tetapi Thomas Aquinas juga mengingatkan bahwa jika kita menggunakan pribadi
lain untuk tujuan atau kenikmatan diri kita sendiri, maka kita tidak pernah
dapat menjadi sahabat sejati. Itulah mengapa Thomas Aquinas yakin bahwa suatu
persahabatan yang sejati mewujud lebih dalam hal memberikan cinta daripada
menerima cinta. Thomas Aquinas melihat dari pengalaman bahwa bayi itu baru
dapat menerima cinta, tetapi sahabat bisa kedua-duanya: dapat memberikan
cinta dan dapat menerima cinta. Persahabatan yang sejati itu merupakan
suatu habitus yang baik, tetapi Thomas Aquinas mengingatkan, kita ini
sahabat tidak hanya karena maksud baik kita tetapi juga karena pemberian diri
kita, baik di dalam kata maupun di dalam tindakan nyata.
Persahabatan sejati dan
persahabatan palsu
Menurut Thomas Aquinas, kita dapat memiliki dua jenis persahabatan, yakni:
persahabatan palsu (false friendship) dan persahabatan sejati (true
friendship). Persahabatan sejati dan langgeng didasarkan pada kebaikan dan
keutamaan di dalam diri masing-masing orang yang menjalin hubungan
persahabatan. Kita mencintai sahabat-sahabat demi kepentingan diri mereka. Kita
menginginkan mereka baik sama seperti kita menginginkan diri kita sendiri.
Namun, dalam persahabatan yang palsu, didasarkan pada kebaikan yang tidak
jelas dan keutamaan yang tidak nyata dalam diri masing-masing orang yang
bersahabat. Kita mencintai orang lain semata-mata karena apa yang menyenangkan
kita dan apa yang bermanfaat bagi kita. Kita menginginkan “persahabatan” itu
karena kita merasakan adanya kekurang-puasan terhadap diri kita sendiri dan
adanya kekosongan pada diri kita. Maka, kita berusaha untuk meraih apa yang
sungguh baik yang ada di luar diri kita.
Di dalam “persahabatan” yang didasarkan pada kebutuhan dan kesenangan
seperti itu, kita mencintai kepentingan (keuntungan) diri kita sendiri dan
bukan kepentingan (kesejahteraan atau kebaikan) sahabat kita. Jadi, bukan kita
memberikan diri kita demi kebaikan dan kesejahteraan sahabat kita, tetapi kita
justru mengambil dari mereka apa yang menyenangkan kita. Mereka menjadi sarana
untuk pemerolehan keuntungan dan kesenangan kita, sehingga dengan cara seperti
itu kita sebetulnya “mencintai” mereka sebagai objek yang dapat menyenangkan
dan memuaskan kita, seperti layaknya makanan atau pakaian.
Thomas Aquinas tahu bahwa persahabatan yang egoistis seperti itu bukanlah
“cinta” sejati. Karena kita menggunakan orang lain sebagai objek untuk
kepentingan diri kita sendiri, maka persahabatan seperti itu tidak akan
langgeng. Segera sesudah kebutuhan kita terpenuhi, segera pula persahabatan itu
pun berakhirlah sudah. Jika sahabat kita itu menghentikan pemberian
keuntungan dan kesenangan kepada kita, maka kita pun akan menghentikan cinta
kita kepadanya. Kalau alasan untuk persahabatan itu larut, maka persahabatan
itu pun ikut larut juga.
Tetapi, di dalam persahabatan yang sejati didasarkan pada kebaikan dan
keutamaan satu sama lain, kita berbagi di dalam cinta Tuhan yang memberikan
diri-Nya sendiri, dengan berjuang bersama demi kepentingan dan kebaikan orang
lain yang kita cintai. Di dalam cinta yang egoistis kita ditarik kepada hal
yang baik di mana orang lain dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan kita
itu. Sedangkan, persahabatan yang berkeutamaan itu berbeda. Seperti kita
mencintai hal yang baik itu demi diri kita sendiri, demikian juga kita
mencintai sahabat-sahabat kita itu bukan karena mereka berguna bagi kita tetapi
karena mereka itu sungguh-sungguh baik.
Jadi, jika kita memiliki persahabatan yang sejati berdasarkan pada hal yang
baik, kita mencintai di dalam sahabat kita kebaikan dan keutamaan yang ingin
kita coba perdalam dan kita hayati di dalam hidup kita sendiri. Keserupaan
kita di dalam keutamaan bersama dengan sahabat kita itulah yang menjadi
satu-satunya penyebab persatuan (communion) kita dengan sahabat-sahabat
kita. Tetapi cinta yang egoistis (selfish-love) yang didasarkan pada
kebutuhan dan kesenangan kita menarik kita kepada mencintai bukan pribadi
orang lain itu tetapi mencintai diri kita sendiri. Dan jika diri kita
masing-masing adalah egoistis (selfish) maka keserupaan itu (saling memanfaatkan
dan saling mencari kesenangannya sendiri) tidak akan menyatukan kita tetapi
justru memisahkan kita. Persahabatan yang sejati pada dirinya sendiri merupakan
keutamaan. Dan keutamaan sebagai suatu habitus yang baik tidaklah mudah
hilang. Itulah mengapa persahabatan yang terbebaskan dari unsur egoisme, yang
berdasarkan pada keutamaan, akan berlangsung lestari atau langgeng.
Thomas Aquinas menegaskan bahwa persahabatan yang didasarkan pada kebutuhan
pribadi yang selfish akan selalu berakhir, bahkan pemisahan fisik tidak
dapat merusak persahabatan yang didasarkan pada persekutuan dalam memperoleh
hal yang baik. Jenis persabahatan seperti ini memberikan inspirasi bagi kita
untuk (1) melakukan hal yang baik satu sama lain dan (2) menghayati sebuah
hidup bersama dalam kegembiraan karena kehadiran satu sama lain tanpa saling
mengganggu. Dua kegiatan itu merupakan tindakan persahabatan yang sejati. Meski
pemisahan fisik mencegah kita untuk melakukan hal yang baik satu sama lain,
kita tetap dapat memperdalam persahabatan melalui kesiap-sediaan dan keinginan
untuk membuat ha-hal yang baik itu satu sama lain. Habitus yang baik
akan hilang ketika aktivitas itu berhenti. Maka untuk memelihara habitus
persabahatan itu kita perlu mengulangi kegiatan-kegiatan yang sama itu satu
sama lain.
Cintailah diri sendiri dan orang-orang yang terdekat
dengan kita
“Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Mrk 12:31). Kita bisa
bersahabat baik dengan orang lain, kalau pertama-tama kita sendiri lebih dulu
bisa bersahabat dengan diri kita sendiri. Kita mampu
mencintai orang lain dengan benar kalau kita bisa bersahabat dengan diri kita
sendiri. Kita mampu mencintai orang lain dengan benar kalau kita bisa menjadi
sahabat terbaik bagi diri kita sendiri terlebih dahulu. Segala yang baik yang
kita inginkan bagi sabahat kita, semua kita inginkan juga untuk kita. Karena Tuhan
memerintah kita untuk mencintai satu sama lain seperti kita sendiri mencintai
diri kita sendiri, maka karena itu kita juga harus bisa menjadi sabahat yang
baik untuk diri kita sendiri. Paradoksnya adalah bahwa mencintai diri sendiri
membuat kita mampu untuk mencintai orang lain. Ketika kita bisa menjadi
sahabat bagi diri kita sendiri, kita dapat menjadi sahabat yang sejati bagi
orang lain.
Apa artinya kalau kita bisa menjadi sahabat bagi diri kita sendiri? Ketika
kita mencintai diri kita sendiri secara benar, kita menemukan kedamaian di
dalam hati kita. Kita mencintai perusahaan (pribadi) sendiri, kalau di sana
kita menemukan Tuhan. Kita dipenuhi dengan kepuasan dan mengalami apa yang baik
dianggap baik dalam hidup kita. Ketika kita bisa melihat apa yang bernilai di
perusahaan (pribadi) kita sendiri, maka kita pun juga bisa melihat apa yang
bernilai di perusahaan (pribadi) lain. Di dalam memberikan diri kita sendiri,
kita berkembang menjadi lebih kaya dalam cinta kita setiap hari, dan melihat
persahabatan menjadi berkat bagi banyak orang. Cinta kita berkembang makin
mendalam ketika kita menjadi rela mengurbankan milik kita dan bahkan hidup kita
sendiri untuk orang-orang yang kita cintai. Ketika kita tidak mampu mengerjakan
segalanya untuk sahabat-sahabat yang kita sukai, kita masih dapat bertumbuh
dalam cinta itu. Hati yang murah hati tidak tergantung pada sejauh mana kita
memberikan diri, tetapi sejauh mana kita masih ingin memberi. Inilah paradoks
dari cinta yang memberikan diri: makin banyak kita memberi, makin banyak kita
menerima. Semakin cinta kita ini menjadi kaya, maka cintai kita itu pula akan
semakin memperkaya orang lain.
Tetapi, pertanyaannnya: siapa yang harus kita cintai sedemikian mendalam
dan mesra itu? Aristoteles dan juga Thomas Aquinas yakin bahwa yang harus kita
cintai sedemikian itu adalah pasangan hidup kita (suami/isteri) kita dan
anak-anak kita. Karena pasangan kita itu merupakan bagian dari hidup kita, maka
kita harus mencintai dia dengan kedalaman cinta persahabatan kita yang erat dan
mesra. Karena kita dipersatukan dengan suami/isteri melalui kesatuan fisik yang
mesra dan dengan kedekatan hidup bersama setiap harinya, maka kita dengan
suami/isteri kita dikehendaki oleh Allah untuk memiliki suatu persahabatan
yang paling agung (the greatest friendship).
[1] Mary Ann Fatula, 1993, Thomas
Aquinas: Preacher and Friend, The Liturgical Press, Collegeville,
Minnesota, p. 40-42.