Sebentar
lagi, semua yang baru akan segera dimulai. Tentang sebuah cita - cita, masa
depan, dan perubahan.
Ketika
satu persatu di antara mereka pergi, meninggalkan sejumput kenangan di hati dan
seonggok cerita yg tersisa di ujung hari. Getir pahit mulai terasa saat semua
itu hanya menjadi sebuah kisah saja.
Siapa
yang menyangka, bahwa satu bulan itu terasa sangat singkat? Hari yang berubah
jadi minggu. Kemudian minggu menjadi bulan. Setelah itu, tidak ada yang tahu
sudah banyak waktu yang terbuang begitu saja. Dan satu bulan itu bukan waktu
yang lama. Sebab, beberapa di antara mereka mungkin tidak akan berpikir
demikian. Hingga pada akhirnya mereka menyadari, banyak hal yang telah berubah.
Banyak masa yang terlintas percuma.
Aku
sendiri tidak pernah mengetahui kenapa waktu terlewati begitu sangat cepat
sehingga membuat semua ini terasa sungguh singkat. Saat aku berharap beberapa
waktu yang tersisa masih dapat kuabadikan dengan beberapa kenangan berharga.
Tetapi, apalah arti sebuah harapan ketika keadaan tidak ingin menghendakinya?
Di situlah semua rasa sesal itu timbul.
Satu
demi satu mulai bersiap – siap melanjutkan hidup mereka. Meninggalkan tanah
kampung halaman, lalu meneruskan semua yang sudah mereka putuskan sebelumnya.
Kakakku…
Hari ini dia pergi, kembali ke tempatnya di ibu kota Negara untuk melanjutkan
tugasnya. Ketika ia datang, semua terasa sangat berbeda. Semua berubah menjadi
sangat hangat. Suasana kekeluargaan itu terasa sangat kental. Bahkan, aku
sempat menganggap kedatangan ia di sini mungkin dapat kuhabiskan dengan
sempirna. Terutama ketika kami menghabiskan sejumlah waktu berharga – yang
rasanya tidak ingin kami sia – siakan begitu saja. Tetapi, waktu yang merambat
semakin cepat. Hingga pada hari terakhir keberadaan ia di sini, aku merasa
sangat kehilangan. Hilangnya satu orang, bersama satu kesempatan yang hanya
kudapatkan sekali dalam setahun.
Kemudian,
para sepupuku. Kehadiran mereka di sini mungkin cukup meninggalkan kesan yang
indah. Walau, kutahu waktu yang kulewati bersama sungguhlah tidak terlalu
banyak. Terlebih, kedatangan mereka di sini terbilang lebih awal. Tapi, tetap
saja semua itu meninggalkan bekas cerita di relung jiwa. Sama halnya seperti
keberadaan kakakku. Waktu yang bersanding di antara kami pernah kuremehkan. Dua
bulan sejak kedatangan mereka mungkin terbilang cukup lama. Ternyata tidak.
Semua tidak seperti yang kupikirkan. Sama saja, waktu berjalan sangat cepat
sehingga mendesakku agar merelakan kepergian mereka esok lusa, untuk
memperjuangkan cita – cita mereka.
Aku
sendiri yang hadir di sini, diam – diam telah mempersiapkan semuanya dengan
baik. Aku telah merencanakan sejumlah hal penting yang akan kubawa saat
kepergianku nanti. Setelah berlama – lama di sini, terjerat dalam berbagai
macam keadaan, terusik oleh situasi yang beragam, akhirnya hari itu akan segera
kujelang. Delapan bulan hadir di sini tentu membawaku ke suatu zona yang akan
selalu kurindukan.
Tempat
di mana aku menggabungkan segala kesedihan dan kebahagiaan itu menjadi satu.
Saat di mana aku merasakan kehangatan yang tidak dapat kutemui di seluruh
dunia. Begitulah, rumah. Benar kata pepatah, rumahku adalah surgaku.
Delapan
bulan sejak kedatanganku kembali di sini, semua masih terlihat baik – baik
saja. Bahkan itu terasa seperti mimpi. Karena, paginya aku masih dapat
merasakan iklim Jakarta, lalu siangnya aku berada di Bangka dengan atmosfir
yang sungguh berbeda. Delapan bulan begitu saja. Kujalani semua hariku dengan
rentetan aktivitas yang tidak dapat kuhapal seperti apa bentuknya. Mungkin ada
yang dapat kuingat. Hanya saja, semua itu sungguh menyakitkan bila harus
kuingat lagi di keadaan seperti ini. Aku tidak dapat menyanggupinya.
Dan
dua minggu yang tersisa, mungkin tidak akan terasa sangat lama. Sejujurnya pun,
aku tidak ingin sama sekali mematuhi keegoisanku untuk pergi. Aku tidak ingin
pergi. Aku tidak ingin berpisah dengan kedua orang tuaku dan elemen – elemen
berharga yang berada di sini. Semua itu terlalu manis. Tetapi, aku bisa apa?
Saat kuketahui tidak ada yang dapat kulakukan di sini, haruskah aku setia
bertahan?
Aku
mungkin akan kehilangan sosok ayahku jika aku berada di sana. Aku juga harus
bersiap – siap merindukan ibuku yang tidak dapat kugantikan dengan siapapun.
Mereka selalu membuatku berharga. Itulah kendalanya kenapa aku merasa sangat
ragu untuk memenuhi keinginanku ini.
Tuhan,
jikalau aku memang harus pergi nanti, kuatkanlah aku agar aku dapat bertahan
dalam kondisi yang seburuk apapun. Dan jika nanti perpisahan itu harus benar –
benar kujelang, berikanlah aku kekuatan agar aku mampu menerjang segala
kesedihan yang menghadapiku. Yakinkan aku dengan seluruh kekuatan-Mu, Tuhan.
Suatu
hari, aku pernah menyimpulkan, Tuhan menciptakan sebuah perpisahan di akhir
pertemuan, sebagaimana mestinya Ia menghadirkan Hawa sebagai pasangan Adam.
Tuhan menciptakan garis kesedihan, untuk memberi warna pada sebuah lini
kebahagiaan. Tuhan menganugrahkan hal manis, untuk menggantikan hal yang terasa
sangat pahit. Sebab, semua yang berada di dunia ini, tercipta untuk saling
melengkapi.