Kamis, 21 Agustus 2014

Perpisahan


Sebentar lagi, semua yang baru akan segera dimulai. Tentang sebuah cita - cita, masa depan, dan perubahan.

Ketika satu persatu di antara mereka pergi, meninggalkan sejumput kenangan di hati dan seonggok cerita yg tersisa di ujung hari. Getir pahit mulai terasa saat semua itu hanya menjadi sebuah kisah saja.

Siapa yang menyangka, bahwa satu bulan itu terasa sangat singkat? Hari yang berubah jadi minggu. Kemudian minggu menjadi bulan. Setelah itu, tidak ada yang tahu sudah banyak waktu yang terbuang begitu saja. Dan satu bulan itu bukan waktu yang lama. Sebab, beberapa di antara mereka mungkin tidak akan berpikir demikian. Hingga pada akhirnya mereka menyadari, banyak hal yang telah berubah. Banyak masa yang terlintas percuma.

Aku sendiri tidak pernah mengetahui kenapa waktu terlewati begitu sangat cepat sehingga membuat semua ini terasa sungguh singkat. Saat aku berharap beberapa waktu yang tersisa masih dapat kuabadikan dengan beberapa kenangan berharga. Tetapi, apalah arti sebuah harapan ketika keadaan tidak ingin menghendakinya? Di situlah semua rasa sesal itu timbul.

Satu demi satu mulai bersiap – siap melanjutkan hidup mereka. Meninggalkan tanah kampung halaman, lalu meneruskan semua yang sudah mereka putuskan sebelumnya.

Kakakku… Hari ini dia pergi, kembali ke tempatnya di ibu kota Negara untuk melanjutkan tugasnya. Ketika ia datang, semua terasa sangat berbeda. Semua berubah menjadi sangat hangat. Suasana kekeluargaan itu terasa sangat kental. Bahkan, aku sempat menganggap kedatangan ia di sini mungkin dapat kuhabiskan dengan sempirna. Terutama ketika kami menghabiskan sejumlah waktu berharga – yang rasanya tidak ingin kami sia – siakan begitu saja. Tetapi, waktu yang merambat semakin cepat. Hingga pada hari terakhir keberadaan ia di sini, aku merasa sangat kehilangan. Hilangnya satu orang, bersama satu kesempatan yang hanya kudapatkan sekali dalam setahun.

Kemudian, para sepupuku. Kehadiran mereka di sini mungkin cukup meninggalkan kesan yang indah. Walau, kutahu waktu yang kulewati bersama sungguhlah tidak terlalu banyak. Terlebih, kedatangan mereka di sini terbilang lebih awal. Tapi, tetap saja semua itu meninggalkan bekas cerita di relung jiwa. Sama halnya seperti keberadaan kakakku. Waktu yang bersanding di antara kami pernah kuremehkan. Dua bulan sejak kedatangan mereka mungkin terbilang cukup lama. Ternyata tidak. Semua tidak seperti yang kupikirkan. Sama saja, waktu berjalan sangat cepat sehingga mendesakku agar merelakan kepergian mereka esok lusa, untuk memperjuangkan cita – cita mereka.

Aku sendiri yang hadir di sini, diam – diam telah mempersiapkan semuanya dengan baik. Aku telah merencanakan sejumlah hal penting yang akan kubawa saat kepergianku nanti. Setelah berlama – lama di sini, terjerat dalam berbagai macam keadaan, terusik oleh situasi yang beragam, akhirnya hari itu akan segera kujelang. Delapan bulan hadir di sini tentu membawaku ke suatu zona yang akan selalu kurindukan.


Tempat di mana aku menggabungkan segala kesedihan dan kebahagiaan itu menjadi satu. Saat di mana aku merasakan kehangatan yang tidak dapat kutemui di seluruh dunia. Begitulah, rumah. Benar kata pepatah, rumahku adalah surgaku.

Delapan bulan sejak kedatanganku kembali di sini, semua masih terlihat baik – baik saja. Bahkan itu terasa seperti mimpi. Karena, paginya aku masih dapat merasakan iklim Jakarta, lalu siangnya aku berada di Bangka dengan atmosfir yang sungguh berbeda. Delapan bulan begitu saja. Kujalani semua hariku dengan rentetan aktivitas yang tidak dapat kuhapal seperti apa bentuknya. Mungkin ada yang dapat kuingat. Hanya saja, semua itu sungguh menyakitkan bila harus kuingat lagi di keadaan seperti ini. Aku tidak dapat menyanggupinya.

Dan dua minggu yang tersisa, mungkin tidak akan terasa sangat lama. Sejujurnya pun, aku tidak ingin sama sekali mematuhi keegoisanku untuk pergi. Aku tidak ingin pergi. Aku tidak ingin berpisah dengan kedua orang tuaku dan elemen – elemen berharga yang berada di sini. Semua itu terlalu manis. Tetapi, aku bisa apa? Saat kuketahui tidak ada yang dapat kulakukan di sini, haruskah aku setia bertahan?

Aku mungkin akan kehilangan sosok ayahku jika aku berada di sana. Aku juga harus bersiap – siap merindukan ibuku yang tidak dapat kugantikan dengan siapapun. Mereka selalu membuatku berharga. Itulah kendalanya kenapa aku merasa sangat ragu untuk memenuhi keinginanku ini.

Tuhan, jikalau aku memang harus pergi nanti, kuatkanlah aku agar aku dapat bertahan dalam kondisi yang seburuk apapun. Dan jika nanti perpisahan itu harus benar – benar kujelang, berikanlah aku kekuatan agar aku mampu menerjang segala kesedihan yang menghadapiku. Yakinkan aku dengan seluruh kekuatan-Mu, Tuhan.

Suatu hari, aku pernah menyimpulkan, Tuhan menciptakan sebuah perpisahan di akhir pertemuan, sebagaimana mestinya Ia menghadirkan Hawa sebagai pasangan Adam. Tuhan menciptakan garis kesedihan, untuk memberi warna pada sebuah lini kebahagiaan. Tuhan menganugrahkan hal manis, untuk menggantikan hal yang terasa sangat pahit. Sebab, semua yang berada di dunia ini, tercipta untuk saling melengkapi.

Tidak ada komentar: