Senin, 12 Mei 2014

Menjadi Sahabat bagi Sesama

Entah apa pun kondisi hidup kita, kita ini membutuhkan sahabat. Manakala kita sedang se­dih, sahabat-sahabat kita datang menghibur. Mereka ikut bersedih hati dengan kita, ikut ber­gembira bersama kita, dan membuat hari-hari kita menjadi lebih ceria. Bersama para sahabat, kita tidak lagi menderita sendiri. Meski kita membutuhkan sahabat di kala sedih, kita pun juga mem­butuhkan sahabat di kala kita bergembira. Apa pun nasib keberuntungan yang kita alami, tetapi jika tidak ada sahabat yang bisa menjadi mitra untuk berbagi keberuntungan itu, maka kegem­biraan yang kita alami sungguh menjadi kurang dapat dirasakan.

Menjadi sahabat

Menurut Thomas Aquinas[1], kita tidak bisa menjadi sahabat satu sama lain, kalau di antara ki­ta tidak ada kesetaraan (equality) dan kesalingan (mutuality) yang benar. Bisa saja kita meng­ingin­kan orang lain menjadi baik, tetapi bukan demi diri kita sen­diri tetapi demi orang lain yang kita cintai itu. Ketika hubungan satu sama lain tidak ada kesaling­an dalam memberikan kebaikan satu sama lain, maka keinginan baik itu tidak bisa bertumbuh menjadi persahabatan. Menjadi sahabat yang sejati berarti menjadi sadar akan harga diri dan cinta orang lain dan mengkomunikasikan afeksi kita satu sama lain. Bisa saja kita merasa saling men­cintai satu sama lain, tetapi jika kita hanya bicara tentang cinta dan tidak ada tindakan nyata, ma­ka kita sama-sama hanya menjadi orang-orang yang berpengharapan baik (well-wishers), dan bukan menjadi sahabat-sahabat (friends).

Kita semua menginginkan persahabatan, dan ingin mengungkapkan cinta kita itu satu sama lain, dalam kata dan dalam tindakan. Kita menjadi sahabat dengan orang lain bukan hanya karena kita merasa mencintai mereka secara batiniah, tetapi juga karena kita mengakui dan meng­ung­kapkan cinta itu kepada mereka. Dengan kata lain, persahabatan adalah suatu habitus yang mem­buat kita ingin menunjukkan cinta kita, bahkan jika kerapkali kita tidak dapat meng­ung­kapkan cinta yang kita inginkan itu. Thomas Aquinas menekankan bahwa kita bisa menjadi saha­bat tidak se­mata-mata karena maksud baik kita tetapi juga karena pemberian diri kita melalui kata dan tindakan kita. 

Tetapi Thomas Aquinas juga mengingatkan bahwa jika kita menggunakan pribadi lain untuk tujuan atau kenikmatan diri kita sendiri, maka kita tidak pernah dapat menjadi sahabat sejati. Itulah mengapa Thomas Aquinas yakin bahwa suatu persahabatan yang sejati mewujud le­bih dalam hal memberikan cinta daripada menerima cinta. Thomas Aquinas melihat dari penga­laman bahwa bayi itu baru dapat menerima cinta, tetapi sahabat bisa kedua-duanya: dapat mem­berikan cinta dan dapat menerima cinta. Persahabatan yang sejati itu merupakan suatu habitus yang baik, tetapi Thomas Aquinas mengingatkan, kita ini sahabat tidak hanya karena maksud ba­ik kita tetapi juga karena pemberian diri kita, baik di dalam kata maupun di dalam tindakan nyata.

Persahabatan sejati dan persahabatan palsu

Menurut Thomas Aquinas, kita dapat memiliki dua jenis persahabatan, yakni: persahabatan palsu (false friendship) dan persahabatan sejati (true friendship). Persahabatan sejati dan lang­geng didasarkan pada kebaikan dan keutamaan di dalam diri masing-masing orang yang menjalin hubungan persahabatan. Kita mencintai sahabat-sahabat demi kepentingan diri mereka. Kita meng­­inginkan mereka baik sama seperti kita menginginkan diri kita sendiri.

Namun, dalam persahabatan yang palsu, didasarkan pada kebaikan yang tidak jelas dan ke­utamaan yang tidak nyata dalam diri masing-masing orang yang bersahabat. Kita mencintai orang lain semata-mata karena apa yang menyenangkan kita dan apa yang bermanfaat bagi kita. Ki­­ta menginginkan “persahabatan” itu karena kita merasakan adanya kekurang-puasan terhadap diri kita sendiri dan adanya kekosongan pada diri kita. Maka, kita berusaha untuk meraih apa yang sungguh baik yang ada di luar diri kita.

Di dalam “persahabatan” yang didasarkan pada kebutuhan dan kesenangan seperti itu, kita mencintai kepentingan (keuntungan) diri kita sendiri dan bukan kepentingan (kesejahteraan atau kebaikan) sahabat kita. Jadi, bukan kita memberikan diri kita demi kebaikan dan kesejahteraan sahabat kita, tetapi kita justru mengambil dari mereka apa yang menyenangkan kita. Mereka men­jadi sarana untuk pemerolehan keuntungan dan kesenangan kita, sehingga dengan cara seperti itu kita sebetulnya “mencintai” mereka sebagai objek yang dapat menyenangkan dan memuaskan ki­ta, seperti layaknya makanan atau pakaian.

Thomas Aquinas tahu bahwa persahabatan yang egoistis seperti itu bukanlah “cinta” sejati. Karena kita menggunakan orang lain sebagai objek untuk kepentingan diri kita sendiri, maka per­sa­habatan seperti itu tidak akan langgeng. Segera sesudah kebutuhan kita terpenuhi, segera pula persahabatan itu pun berakhirlah sudah. Jika sahabat kita itu menghentikan pemberian keuntung­an dan kesenangan kepada kita, maka kita pun akan menghentikan cinta kita kepadanya. Kalau alasan untuk persahabatan itu larut, maka persahabatan itu pun ikut larut juga.

Tetapi, di dalam persahabatan yang sejati didasarkan pada kebaikan dan keutamaan satu sama lain, kita berbagi di dalam cinta Tuhan yang memberikan diri-Nya sendiri, dengan berjuang bersama demi kepentingan dan kebaikan orang lain yang kita cintai. Di dalam cinta yang egoistis kita ditarik kepada hal yang baik di mana orang lain dipakai sebagai sarana untuk mencapai tu­juan kita itu. Sedangkan, persahabatan yang berkeutamaan itu berbeda. Seperti kita mencintai hal yang baik itu demi diri kita sendiri, demikian juga kita mencintai sahabat-sahabat kita itu bukan karena mereka berguna bagi kita tetapi karena mereka itu sungguh-sungguh baik.

Jadi, jika kita memiliki persahabatan yang sejati berdasarkan pada hal yang baik, kita men­cintai di dalam sahabat kita kebaikan dan keutamaan yang ingin kita coba perdalam dan kita ha­yati di dalam hidup kita sendiri. Keserupaan kita di dalam keutamaan bersama dengan sahabat kita itulah yang menjadi satu-satunya penyebab persatuan (communion) kita dengan sahabat-sa­ha­bat kita. Tetapi cinta yang egoistis (selfish-love) yang didasarkan pada kebutuhan dan kese­nangan kita menarik kita kepada mencintai bukan pribadi orang lain itu tetapi mencintai diri kita sendiri. Dan jika diri kita masing-masing adalah egoistis (selfish) maka keserupaan itu (saling me­manfaatkan dan saling mencari kesenangannya sendiri) tidak akan menyatukan kita tetapi justru memisahkan kita. Persahabatan yang sejati pada dirinya sendiri merupakan keutamaan. Dan ke­utamaan sebagai suatu habitus yang baik tidaklah mudah hilang. Itulah mengapa persahabatan yang terbebaskan dari unsur egoisme, yang berdasarkan pada keutamaan, akan berlangsung les­tari atau langgeng.

Thomas Aquinas menegaskan bahwa persahabatan yang didasarkan pada kebutuhan pribadi yang selfish akan selalu berakhir, bahkan pemisahan fisik tidak dapat merusak persahabatan yang didasarkan pada persekutuan dalam memperoleh hal yang baik. Jenis persabahatan seperti ini memberikan inspirasi bagi kita untuk (1) melakukan hal yang baik satu sama lain dan (2) meng­hayati sebuah hidup bersama dalam kegembiraan karena kehadiran satu sama lain tanpa saling mengganggu. Dua kegiatan itu merupakan tindakan persahabatan yang sejati. Meski pemisahan fisik mencegah kita untuk melakukan hal yang baik satu sama lain, kita tetap dapat memperdalam persahabatan melalui kesiap-sediaan dan keinginan untuk membuat ha-hal yang baik itu satu sama lain. Habitus yang baik akan hilang ketika aktivitas itu berhenti. Maka untuk memelihara habitus persabahatan itu kita perlu mengulangi kegiatan-kegiatan yang sama itu satu sama lain.

Cintailah diri sendiri dan orang-orang yang terdekat dengan kita

“Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Mrk 12:31). Kita bisa bersahabat baik dengan orang lain, kalau pertama-tama kita sendiri lebih dulu bisa bersahabat dengan diri kita sendiri. Kita mampu mencintai orang lain dengan benar kalau kita bisa bersahabat dengan diri kita sen­diri. Kita mampu mencintai orang lain dengan benar kalau kita bisa menjadi sahabat terbaik bagi diri kita sendiri terlebih dahulu. Segala yang baik yang kita inginkan bagi sabahat kita, semua kita inginkan juga untuk kita. Karena Tuhan memerintah kita untuk mencintai satu sama lain seperti kita sendiri mencintai diri kita sendiri, maka karena itu kita juga harus bisa menjadi sabahat yang baik untuk diri kita sendiri. Paradoksnya adalah bahwa mencintai diri sendiri membuat kita mam­pu untuk mencintai orang lain. Ketika kita bisa menjadi sahabat bagi diri kita sendiri, kita dapat menjadi sahabat yang sejati bagi orang lain.

Apa artinya kalau kita bisa menjadi sahabat bagi diri kita sendiri? Ketika kita mencintai diri kita sendiri secara benar, kita menemukan kedamaian di dalam hati kita. Kita mencintai perusa­haan (pribadi) sendiri, kalau di sana kita menemukan Tuhan. Kita dipenuhi dengan kepuasan dan mengalami apa yang baik dianggap baik dalam hidup kita. Ketika kita bisa melihat apa yang ber­nilai di perusahaan (pribadi) kita sendiri, maka kita pun juga bisa melihat apa yang bernilai di per­usahaan (pribadi) lain. Di dalam memberikan diri kita sendiri, kita berkembang menjadi lebih kaya dalam cinta kita setiap hari, dan melihat persahabatan menjadi berkat bagi banyak orang. Cin­ta kita berkembang makin mendalam ketika kita menjadi rela mengurbankan milik kita dan bahkan hidup kita sendiri untuk orang-orang yang kita cintai. Ketika kita tidak mampu menger­jakan segalanya untuk sahabat-sahabat yang kita sukai, kita masih dapat bertumbuh dalam cinta itu. Hati yang murah hati tidak tergantung pada sejauh mana kita memberikan diri, tetapi sejauh mana kita masih ingin memberi. Inilah paradoks dari cinta yang memberikan diri: makin banyak kita memberi, makin banyak kita menerima. Semakin cinta kita ini menjadi kaya, maka cintai kita itu pula akan semakin memperkaya orang lain.

Tetapi, pertanyaannnya: siapa yang harus kita cintai sedemikian mendalam dan mesra itu? Aris­toteles dan juga Thomas Aquinas yakin bahwa yang harus kita cintai sedemikian itu adalah pa­sangan hidup kita (suami/isteri) kita dan anak-anak kita. Karena pasangan kita itu merupakan bagian dari hidup kita, maka kita harus mencintai dia dengan kedalaman cinta persahabatan kita yang erat dan mesra. Karena kita dipersatukan dengan suami/isteri melalui kesatuan fisik yang me­sra dan dengan kedekatan hidup bersama setiap harinya, maka kita dengan suami/isteri kita dike­hendaki oleh Allah untuk memiliki suatu persahabatan yang paling agung (the greatest friend­ship).


[1]  Mary Ann Fatula, 1993, Thomas Aquinas: Preacher and Friend, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, p. 40-42.

Tidak ada komentar: