“Maaf,
aku bukan sesempurna yang engkau harapkan!”. Atau, “Aku bukan nabi yang
bisa sempurna, ku tak luput dari dosa.” Kata-kata yang sering kita
dengarkan atau ,bahkan kita sendiri pernah mengucapkan.
Kata-kata
“maaf”, “sempurna”, “nabi”, seakan-akan saling berkaitan dan berputar
bak untain biji tasbih. Kata “maaf” sering kali cepat-cepat digunakan
untuk menutupi kekurangan dirinya, alias ketidak kesempurnaannya. Di
lain pihak, yang sempurna seakan-akan milik nabi saja, selain nabi,
manusia tidak pernah mencicipi namanya kesempurnaan sebagai manusia.
dengan kata lain, manusia, selain nabi, tidak pernah sukses berevolusi
menuju maqom sempurna.
Benarkah manusia memang tidak bisa mencapai maqom
kesempurnaannya sebagai makhluk yang bernama manusia. apakah “sempurna”
hanya diperuntukkan bagi nabi? kesempurnaan nabi apakah hasil olah budi
ataukah memang “begitu saja” Tuhan memberikan padanya? Lantas apa makna
“ahsanu taqwim” bagi manusia sebagai makhluk yang diciptkan
sebaik-baiknya diantara makhluk lainnya? Apakah kesempurnaan itu hanya
berlaku saat dikomparasikan dengan makhluk Tuhan lainnya sehingga
tatkala dia (manusia) berhadapan dengan sesamanya masih memiliki banyak
tanda tanya tentang kesempurnaannya?
Pertanyaan
selanjutnya, adakah manusia sempurna, selain nabi? kalau memang ada,
siapa dia? Apa ciri-cirinya? Mungkinkah, sempurna itu bagaikan tempat
tertinggi yang harus dicapai dengan pendakaian yang cukup sulit sehingga
dalam perjalanan itu sendiri banyak yang gagal menjalaninya, tak ayal
jika banyak manusia yang cepat-cepat meminta maaf ketidakberhasilannya
mencapai derajat “sempurna” itu?
Menjadi
manusia sempurna adalah keinginan setiap manusia, tidak peduli status
sosialnya, jenis kelaminnya, ras sukunya, semuanya ingin menggapai
manusia sempurna. Tentunya, kata sempurna tidak dapat lepas dari
perjalanan tafsir manusia yang kait berkelindan dengan waktu, peradaban,
dan kemajuannya di zamannya. Sekarang, kata sempurna, banyak digunakan
hanya untuk merujuk ketidakpunyaannya masalah rupa, harta maupun
jabatan. Dengarkanlah rintihan pemuda di hadapan pemudi atau sebaliknya,
tatkala ditolak cintanya atau tidak bisa menuruti kemauan pasangannya
reflek kata” sempurna” segera meluncur dari bibirnya. Sungguh
mengenaskan sekali dan ini menunjukkan sesungguhnya begitu banyak
manusia sempurna dan tidak sempurna, bagaiakan larahan daun dimusim kemarau.
Benarkah
kesempurnaan itu hanya berkutat masalah rupa, harta dan sosial strata?
Alangkah bijaknya jika kita membedakan antara “sempurna” dengan
“lengkap”. Dalam bahasa, letak dua kata yang berarti “sempurna” (perfect) dan “lengkap” (complete) berdekatan
satu sama lain, tetapi tidak persis sama dalam pengertian, dan
kedua-duanya memiliki suatu pengertian antonim., yaitu cacat (defective).
Kata “lengkap” merujuk pada sesuatu yang disiapkan menurut rencana,
seperti sebuah rumah dan masjid. Jika setiap bagian dari kedua bangunan
tidak selesai, ia disebut tidak lengkap atau kurang. Akan
tetapi, sesuatu dapat disebut “lengkap” dan mungkin ada kelengkapan yang
lebih tinggi atau banyak tingkatan yang lebih tinggi dari itu, dan
itulah yang disebut “kesempurnaan”.
“Lengkap”
adalah suatu kemajuan horizontal menuju perkembangan maksimum,
sedangkan “sempurna” adalah pendakian vertikal menuju tingktan tertinggi
yang mungkin.
Definisi
sempurna yang menunjukkan tingkatan tertinggi, seseuatau yang ingin
dicapai manusia berimplikasi melahirkan berbagai teori-teori tentang
kesempurnaan manusia. mahzab-mahzab ini mencoba untuk memberikan “tanda”
mengenai apa parameternya manusia mencapai maqom “Sempurna”. Pandangan berbagai mazab sehubungan dengan manusia sempurna bisa diringkas sebagai berikut.
Pertama,
mahzab kaum rasionalis yang melihat manusia dalam aspek kualitas
mentalnya, dan menggangap bahwa esensi manusia terletak pada pikiran dan
fakultas rasionalnya. Pandangan ini, seorang manusia sempurna adalah
seorang pemikir, dan kesempurnaannya ada pada filsafatnya. Persoalan
etika dikendalikan dengan akal. Apakah akal Ada mendominasi dan
mengendalikan nafsu, ataukah sebaliknya? Apakah akal Anda mendominasi
kemarahan dan ketakutan Anda, ataukah sebalinya? Apabila Anda mampu
berusaha memahami dunia melalui penalaran, dan mengizinkan akal anda
mengendalikan diri, Anda adalah manusia sempurna.
Kedua, mahzab cinta atau gnostisisme (‘irfan).
Dengan cinta dimaksudkan ibadah kepada Tuhan dengan penuh keintiman.
Mahzah cinta adalah seluruh gerakan, yakni gerakan vertikal alih-alih
gerakan horizontal, sekalipun pada tahapan selanjutnya ia menempuh arah
horizontal. Kalangan pecinta Tuhan ini tidak percaya pada penalaran dan
perenungan sebagai sarana kemajuan; cinta adalah spirit manusia yang
memajukan sampai ia mencapai Tuhan. Monoteisme mereka adalah kesatuan
eksistensi, yang mengambil bentuk kebenaran mutlak ketika manusia
mencapai posisi itu. Artinya, seorang manusia sempurna menjadi Tuhan
secara ultimat atau bagian dari-Nya.
Ketiga,
mahzab kekuasaan. Pandangan mengenai manusia sempurna adalah
kesempurnaan manusia tidak bergantung pada akal rasional ataupun cinta,
melainkan pada kekuasaan, yang bermakna daya, kekuatan, atau yang
serupa. Pada era Yunani Kuno, ada sekelompok orang yang disebut kamu
Sofis, yang terang-terangan menyatakan bahwa kekuasaan adalah kebenaran,
sedangkan kelemahan adalah tiadanya kebenaran. Jadi, keadilan dan
ketidakadilan tidak punya makna apa-apa bagi mereka lantaran kekuasaan
adalah kebenaran dan setiap manusia sedang berupaya untuk mendapatkan
kekuasaan tanpa syarat atau batasan apa pun.
Selain
tiga mahzab, masih ada pandangan seputar manusia sempurna. Ada yang
mengatakan kesempurnaan manusia terletak pada kelemahannya. Apabila ia
memiliki kekuasaan, ia akan menunjukan penyerangan. Cinta dan realisasi
diri, begitu mahzab lain membuat parameter, merupakan pijakan utama
seluruh pencapaian manusia. apabila manusia mampu mengendalikan dan
mendominasi dirinya, sangat mungkin terjadi ia mampu untuk mendominasi
segala sesuatu yang lainnya.
Inilah
pusparagam pandangan yang telah diekspresikan seputar manusia sempurna.
Masing-masing mahzab memberi batasan, tanda-tanda kapan manusia bisa
disebut manusia sempurna. Buku ini yang ditulis Murtadha Muthahhari
mencoba menganilis pandangan-pandangan berbagai mahzab
tersebut. Penulis buku ini mencoba mengkomparasikan teori-teroi dengan
dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya Al-Qur’an dan Sunnah
memberikan gambaran tentang manusia sempurna dengan
keistimewaan-keistemewaannya, yang dinamakan mukmin sejati atau muslim
sejati. Cara lain adalah dengan memuliakan individu-individu nyata yang
dididik berdasarkan model Al-Qur’an dan Sunnah, bukan wujud imajiner dan
idealistik, melainkan suatu pribadi yang nyata dan objektif yang eksis
di berbagai tahap kesempurnaan dan level tertingginya atau bahkan
sedikit pada level terendahnya.
Cinta,
akal, keadilan, kebebebasan, pelayaan kepada sesama, dan ibadah adalah
nilai-nilai kemanusiaan. Lantas, siapakah manusia sempurna itu? apakah
ia seorang ahli ibadah, atau zuhud, atau orang merdeka, atau ahli
pecinta, atau pemilik akal? Tak satu pun dari semua ini berujung manusia
sempurna. Namun, apabila semua nilai kemanusiaan ini dikembangkan pada
dirinya dalam cara yang harmonis, ia dapat dipandang sebagai manusia
sempurna.
Manusia
adalah manusia yang memiliki potensi kemalaikatan dan kebumian, karena
manusia merupakan kombinasi keduanya, yang bisa naik ke derajat malaikat
atau sebaliknya, anjlok ke level hewaniyah. Manusia, oleh Tuhan, telah
diberi kemampuan (talenta) dan dibiarkan bebas memilih ganjaran atau
hukuman melalui perbuatan-perbuatannya itu, sementara maklhuk lainnya tidak
mempunyai kepantasan semacam itu. manusia mesti memilih cahayanya
sendiri dan memperoleh kesempurnaan melalui kesahajaan dan kesetimbangan
serta menggunakan seluruh talentanya.
Judul Asli : Perfect Man
Judul : Manusia Sempurna, Nilai dan Kepribadian manusia pada Intelektualitas, Spiritualitas dan Tanggung jawab Sosial
Penulis : Mutadha Muthahhari
Penerbit : Rausyan Fikr, Yogyakarta
Tahun Terbit : cetakan 2, edisi khusus Maulid Nabi Muhammad SAW. 1433 H.
Tebal : 155 halaman.
kaha.anwar@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar